Langsung ke konten utama

Puasa Terpanjang & Terpendek di Dunia: Siapa yang Paling Kuat?

 


Puasa Terpanjang & Terpendek di Dunia: Siapa yang Paling Kuat?

 

Ramadhan selalu jadi bulan yang penuh berkah dan tantangan. Tapi tahukah kamu kalau durasi puasa di berbagai belahan dunia itu berbeda-beda? Kalau di Indonesia kita terbiasa puasa sekitar 13–14 jam, di beberapa negara lain ada yang harus menahan lapar dan haus hingga 22 jam! Sebaliknya, ada juga yang cuma puasa 9 jam dan langsung bisa makan lagi. Kok bisa? Yuk, kita bahas!

Buat kamu yang merasa puasa di Indonesia berat, coba bayangin kalau tinggal di negara seperti Islandia, Norwegia, atau Finlandia. Di sana, saat Ramadhan jatuh di musim panas, matahari bisa nyaris nggak pernah tenggelam. Artinya, waktu siang bisa mencapai 20 hingga 22 jam, dan umat Muslim di sana harus menahan lapar, haus, serta energi ekstra karena malamnya super pendek.

Misalnya, di Tromsø, Norwegia, saat Ramadhan di musim panas, matahari bisa tetap bersinar hampir sepanjang hari. Akibatnya, waktu berbuka bisa jatuh pada pukul 11 malam, dan sahur harus selesai sebelum pukul 1 dini hari. Kebayang nggak, harus berbuka, tarawih, dan sahur dalam waktu yang super mepet? Tapi jangan khawatir, ada kemudahan dalam Islam. Ulama membolehkan umat Muslim di daerah ekstrem seperti ini untuk mengikuti waktu berbuka dan sahur dari kota terdekat yang punya siang-malam lebih normal atau mengikuti waktu Mekah dan Madinah. Jadi, mereka nggak harus puasa full 22 jam.

Sebaliknya, kalau kamu tinggal di negara seperti Argentina, Selandia Baru, atau Chile, puasanya bisa lebih santai. Saat Ramadhan jatuh di musim dingin, matahari terbit agak telat dan tenggelam lebih cepat, sehingga puasa hanya berlangsung sekitar 9–10 jam saja. Di Ushuaia, Argentina, misalnya, waktu Subuh bisa baru dimulai sekitar pukul 7 pagi, sementara Maghrib sudah masuk sekitar 4 sore. Artinya, mereka hanya perlu puasa sekitar 9 jam saja, bahkan lebih pendek dari waktu tidur sebagian orang!

Uniknya, karena kalender Islam berdasarkan peredaran bulan (Hijriah) yang lebih pendek sekitar 10–11 hari dibandingkan kalender Masehi, musim Ramadhan terus bergeser setiap tahunnya. Itu berarti, orang di belahan bumi utara yang sekarang merasakan puasa super panjang, 10–15 tahun ke depan bisa menikmati puasa yang lebih pendek saat Ramadhan jatuh di musim dingin.

Mungkin kamu bertanya-tanya, kalau ada negara yang punya siang 24 jam penuh, bagaimana umat Muslim di sana menjalani puasa? Nah, ini terjadi di beberapa daerah ekstrem seperti Svalbard, Norwegia, yang bisa mengalami fenomena Midnight Sun (Matahari Tengah Malam), di mana matahari nggak pernah tenggelam selama musim panas. Dalam kasus seperti ini, fatwa dari para ulama memperbolehkan mereka mengikuti jadwal puasa dari negara Muslim terdekat atau berdasarkan waktu Mekah. Hal ini juga berlaku untuk daerah yang mengalami malam selama 24 jam di musim dingin, di mana umat Muslim tetap bisa berpuasa berdasarkan jadwal dari kota yang memiliki siang dan malam normal.

Jadi, kalau kamu pernah mengeluh puasa di Indonesia terasa panjang, bayangin perjuangan saudara-saudara kita di negara yang harus puasa hampir seharian penuh. Tapi di sisi lain, ada juga yang puasanya lebih pendek. Terlepas dari durasi, yang terpenting dalam Ramadhan bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga bagaimana kita memanfaatkan waktu untuk ibadah, introspeksi diri, dan meningkatkan kualitas hidup. Jadi, siap menjalani puasa tahun ini dengan semangat?

 


 

-          Mahsuna Aulia